PENERAPAN SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN PADA BUDIDAYA PADI GOGO DI LAHAN MARGINAL
I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Penurunan produksi bahan pangan nasional 
yang dirasakan saat ini lebih disebabkan oleh semakin sempitnya luas 
lahan pertanian yang produktif (terutama di pulau Jawa) sebagai akibat 
alih fungsi seperti konversi lahan sawah, ditambah isu global tentang 
meningkatnya degradasi lahan (di negara berkembang). Salah satu 
alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi 
tanaman dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan adalah pendayagunaan 
lahan kering. Selain karena memang tersedia cukup luas, sebagian dari 
lahan kering belum diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan 
peluang dalam pengembangannya.
Secara umum sistem pertanian di 
Indonesia, khususnya yang menyangkut budidaya pertanian tanaman pangan 
dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu pertanian lahan basah/ 
sawah dan pertanian lahan kering. Seperti diketahui, pembangunan 
pertanian di Indonesia selama ini terfokus pada peningkatan produksi 
pangan, terutama beras, sehingga sebagian besar dana dan daya telah 
dialokasikan untuk program-program seperti intensifikasi, 
jaringan-jaringan pengairan dan pencetakan sawah.
Sebaliknya, ciri usahatani bukan sawah 
ternyata telah menyebabkan kurang diprioritaskannya pertanian lahan 
kering di dalam proses peningkatan produksi pangan. Namun, dengan 
semakin meningkatnya alih fungsi lahan, disinyalir peluang penggunaan 
lahan sawah untuk usaha pertanian makin hari makin menyempit sehingga 
pengalihan usaha ke lahan kering makin terasa diperlukan.
Lahan kering selalu dikaitkan dengan 
pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh 
masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan
 atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering 
(kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. 
Untuk memudahkan pengutaraan dalam penyajian ini, yang dimaksud lahan 
kering adalah lahan atasan, karena kebanyakan lahan kering berada di 
lahan atasan. Belakangan ini pengertian yang tersirat dalam istilah 
lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan
 kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air 
hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap.
Ditinjau dari segi luasannya, potensi 
lahan kering di Indonesia tergolong tinggi dan masih perlu mendapat 
perhatian yang lebih bagi pengembangannya, namun apabila ditinjau dari 
sifat/ karakteristik lahan kering seperti diuraikan tersebut di atas, 
sangat diperlukan beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas 
yang menjadi kendala dalam pengembangannya.
Lahan kering di Indonesia cukup luas, 
dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektar atau 88,6% dari luas lahan, 
sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau 11,4% dari luas 
lahan, sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan
 lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran 
tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl.(39,35%) dari total 
luasan lahan kering di Indonesia. Data terbaru, menyebutkan Indonesia 
memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan.
Namun demikian, pertanian lahan kering 
dapat dikatakan tidak produktif. Petani adalah subyek yang paling 
merasakan dampak dari ketidakproduktifan lahan. Untuk mewujudkan 
pertanian di daerah lahan marginal, maka diperlukan meode sistem 
pertanian berkelanjutan di lahan kering terutama bagian hulu (up land), 
maka diperlukan sistem penggunaan lahan konservatif dan produktif 
secaraterus menerus, tidak hanya terhadap tanah tetapi juga secara 
keseluruhan dari sumberdayaalam, termasuk air, hutan, dan daerah 
pengembalaan.
Untuk mencoba mengkaji peluang dengan 
melihat sifat/ karakteristik dan potensi dari lahan kering dalam 
pengembangannya untuk pertanian tanaman pangan khususnya padi gogo, maka
 dibuatlah makalah mengenai penerapan sistem pertanian berkelanjutan 
dalam pemanfaatan lahan marginal dan lahan kering untuk menanam varieas 
padi gogo.
1.2  Tujuan
- Mengetahui penerapan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan marginal untuk penanaman padi gogo.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Marginal
Sumber daya lahan merupakan salah satu 
faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian,
 karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. 
Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri mencakup semua watak yang
 melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan, hidrologi dan populasi
 tumbuhan dan hewan, baik yang bersifat mantap maupun yang bersifat 
mendaur, serta kegiatan manusia di atasnya. Jadi, lahan mempunyai ciri 
alami dan budaya.
Lahan marginal dapat diartikan sebagai 
lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas
 jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu. Sebenarnya faktor 
pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang harus 
dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan 
marginal tidak akan memberikan keuntungan. Ketertinggalan pembangunan 
pertanian di daerah marginal hampir dijumpai di semua sektor, baik 
biofisik, infrastruktur, kelembagaan usahatani maupun akses informasi 
untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian.
2.1.1 Sebaran Lahan Marginal di Indonesia
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik
 pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, 
lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara 
lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta
 ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan 
potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. 
Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, 
prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum 
dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, 
sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki 
produktivitasnya.
2.1.2 Kesuburan Lahan  Marginal
Tanah marginal atau “suboptimal” 
merupakan tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk tanaman 
pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami, kesuburan
 tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi tanah 
yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan 
basa rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. 
Namun, penilaian produktivitas suatu lahan bukan hanya berdasarkan 
kesuburan alami (natural fertility), tetapi juga respons 
tanah dan tanaman terhadap aplikasi teknologi pengelolaan lahan yang 
diterapkan. Melalui perbaikan teknologi pengelolaanlahan, produktivitas 
suatu lahan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan dengan 
kondisi kesuburan tanahnya yang secara alami rendah. Namun, dalam 
beberapa decade terakhir, penilaian kesuburan tanah justru didasarkan 
pada kesuburan alami (natural fertility). Dalam kegiatan 
survei dan pemetaan tanah pada awal tahun 1960-an yang dilaksanakan oleh
 Lembaga Penelitian Tanah, yang sekarang berubah nama menjadi Balai 
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), 
penilaian kelas kemampuan wilayah hanya didasarkan pada kualitas atau 
karakteristik tanah secara alami (virgin soil). Namun, sejak 
tahun 1970-an, penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dari dua arah,
 yaitu berdasarkan kondisi teknologi yang diterapkan saat ini (actual suitability) dan kondisi teknologi dengan perbaikan disesuaikan dengan kualitas dan karakteristik lahannya (potential suitability).
2.1.3 Contoh Lahan Marginal
Memanfaatkan lahan marjinal bukan hal 
yang tidak mungkin dilakukan. Lahan marjinal memang memiliki faktor 
pembatas yang besar untuk pertumbuhan tanaman yang oiptimal. Diantara 
faktor yang menyebabkan tanaman tidak bisa tumbuh dengan optimal yaitu 
dari segi fisik tanah, kimia tanah, maupun biologi tanah. Beberapa 
contoh lahan yang tergolong kedalam lahan marginal yaitu : tanah gambut,
 lahan bekas tambang, lahan kering, lahan pasir, lahan dekat pantai, dan
 gurun.
2.2 Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan atau pembangunan 
pertanian berkelanjutan pertama kali menjadi pembicaraan dunia pada 
tahun 1987, tahun 1992 diterima sebagai agenda politik oleh semua negara
 di dunia sebagaimana dikemukakan dalam Agenda 21, Rio de Jeneiro. Dalam
 pertemuan tersebut ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangka panjang 
dapat dilakukan bila dikaitkan dengan masalah perlindungan lingkungan. 
Pertemuan Johanesberg, Afrika Selatan (2-4 September 2002) yang 
merupakan pertemuan puncak Pembangunan Berkelanjutan (”World Summit On 
Sustainable Development”) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan 
membutuhkan pandangan dan penanganan jangka panjang dengan partisipasi 
penuh semua pihak. Secara jelas dinyatakan bahwa pembangunan yang 
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus 
mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Di bidang 
pertanian diterapkan dengan pendekatan pembangunan pertanian 
berkelanjutan atau berwawasan lingkungan, yang dalam pelaksanaannya 
sudah termasuk aspek pertanian organik.
Di Indonesia, konseptual pertanian 
berkelanjutan tercantum pada UU no. 12 tahun 1992. Akan tetapi 
pengertian pertanian berkelanjutan masih belum begitu jelas secara 
implementas. Namun secara umum, prinsip dari pertanian berkelanjutan  
adalah praktek pertanian yang menggunakan prinsip dasar ekologi serta 
ilmu tentang hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Hal ini 
sama dengan penjelasan dari Wikipedia bahwa Sustainable agriculture 
is the practice of farming using principles of ecology, the study of 
relationships between organisms and their environment.
Pertanian berkelanjutan juga telah 
didefinisikan sebagai sistem pertanian yang terintegrasi dari praktek 
produksi tumbuhan dan hewan yang secara spesifik akan bertahan dalam 
waktu yang lama.
Aspek aspek pertanian berkelanjutan 
menurut Wikipedia salah satunya adalah Meningkatkan kualitas lingkungan 
dan sumber daya alam dengan  mengacu kepada kebutuhan ekonomi pertanian.
Disebut sebagai pertanian berkelanjutan 
menurut karena dalam pertanian tersebut memiliki kegiatan yang secara 
ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan 
secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat 
membuahkan pertumbuhan ekonomi, dan penggunaan sumberdaya serta 
lnvestasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti,
 bahwa kegiatan termaksud harus dapat mempertahankan integritas 
ekosistem, mernelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya
 alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity). Sementara itu, 
keberlanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan 
pernbangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil 
pernbangunan, mobilitas. sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, 
pernberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembang an 
kelembagaan.
2.3 Padi Gogo
Varietas unggul padi gogo telah dilepas 
sejak tahun 1960-1994. Varietas Danau Atas, Danau Tempe dan Laut Tawar 
merupakan varietas yang cocok dibudidayakan pada lahan podsolik merah 
kuning. Varietas Gajah Mungkur dan Kalimutu yang dilepas tahun 1994 
cocok dikembangkan pada lahan-lahan kering yang tersebar di kawasan Nusa
 Tenggara.
2.3.4 Syarat Pertumbuhan
Pada dasarnya dalam budidaya tanaman, 
pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor 
genetis dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang paling penting 
adalah tanah dan iklim serta interaksi kedua faktor tersebut. Tanaman 
padi gogo dapat tumbuh pada berbagai agroekologi dan jenis tanah. 
Sedangkan persyaratan utama untuk tanaman padi gogo adalah kondisi tanah
 dan iklim yang sesuai. Faktor iklim terutama curah hujan merupakan 
faktor yang sangat menentukan keberhasilan budidaya padi gogo. Hal ini 
disebabkan kebutuhan air untuk padi gogo hanya mengandalkan curah hujan.
1. Iklim
Padi gogo memerlukan air sepanjang 
pertumbuhannya dan kebutuhan air tersebut hanya mengandalkan curah 
hujan. Tanaman dapat tumbuh pada derah mulai dari daratan rendah sampai 
daratan tinggi. Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 450 LU sampai 450
 LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan.
 Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan selama 3 bulan 
berturut-turut atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim 
kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air 
irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah prduksi 
dapat menurun karena penyerbukankurang intensif. Di dataran rendah padi 
memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperature 22-27 derajat C 
sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperature 19-23 
derajat C.      Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa 
naungan. Di Indonesia memiliki panjang radiasi matahari ± 12 jam sehari 
dengan intensitas radiasi 350 cal/cm2/hari pada musim penghujan. 
Intensitas radiasi ini tergolong rendah jika dibandinkan dengan daerah 
sub tropis yang dapat mencapai 550 cal/cm2/hari. Angin berpengaruh pada 
penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan 
tanaman.
2. Tanah
Padi gogo harus dapat tumbuh pada 
berbagai jenis tanah, sehingga jenis tanah tidak begitu berpengaruh 
terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo. Sedangkan yang lebih 
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil adalah sifat fisik, kimia dan
 biologi tanah atau dengan kata lain kesuburannya. Untuk pertumbuhan 
tanaman yang baik diperlukan keseimbangan perbandingan penyusun tanah 
yaitu 45% bagian mineral, 5% bahan organik, 25% bagian air, dan 25% 
bagian udara, pada lapisan tanah setebal 0 – 30 cm.
 Struktur tanah yang cocok untuk tanaman 
padi gogo ialah struktur tanah yang remah. Tanah yang cocok bervariasi 
mulai dari yang berliat, berdebu halus, berlempung halus sampai tanah 
kasar dan air yang tersedia diperlukan cukup banyak. Sebaiknya tanah 
tidak berbatu, jika ada harus < 50%. Keasaman (pH) tanah bervariasi 
dari 5,5 sampai 8,0. Pada pH tanah yang lebih rendah pada umumnya 
dijumpai gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan Al. Sedangkan bila
 pH lebih besar dari 8,0 dapat mengalami kekahatan Zn.
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi
 Data  dan informasi dalam makalah ini 
diperoleh melalui penelusuran melalui internet dan studi pustaka. Akses 
internet dan studi pustaka dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas 
Jember dan Perpustakaan Pusat Universitas Jember
3.2 Waktu
 Makalah ini disusun mulai tanggal 23 
sampai 25 Oktober 2012 untuk diajukan tugas mata kuliah Penerapan Sistem
 Pertanian Berkelanjutan.
3.3 Metode Penulisan
 Makalah ini disusun dari data dan 
informasi berupa kajian putaka, terutama yang berkaitan dengan lahan 
marginal, pengertian sistem pertanian berkelanjutan, dan informasi 
mengenai padi gogo.
IV. PEMBAHASAN
4.1 Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
4.1.1 Varietas Padi Gogo
 Sejak pertama kali diperkenalkan tahun 
1960, varietas padi gogo telah berkembang beberapa macam. Masing-masing 
varietas memiliki keunggulan dan sifat yang berbeda beda. Hal tersebut 
dapat diperlihatkan dalam tabel berikut:
| No | Varietas | Tahun Pepasan | Umur (hari) | Kisaran Hasil (t/ha) | Rasa Nasi | Ketahanan/ Toleransi | 
| 1 | Danau Tempe | 1991 | 135 | 3-5 | Pera | B | 
| 2 | Situ Gintung | 1992 | 140 | 2-3,5 | Pulen | B, BB, WC2 | 
| 3 | Gajah Mungkur | 1994 | 95 | 2,5 | Sedang | KrFe | 
| 4 | Kalimutu | 1994 | 95 | 2,5 | Sedang | KrFe | 
| 5 | Way Rarem | 1994 | 105 | 3-4 | Pera | B, KrAl, Fe | 
| 6 | Jatiluhur | 1994 | 115 | 2,5-3,5 | Pera | B, Ngn | 
| 7 | Cirata | 1996 | 120 | 3-5 | Pulen | B | 
| 8 | Towuti | 1999 | 120 | 3-5/5-7 | Pulen | B, HDB,WC23 | 
| 9 | Limboto | 1999 | 105 | 3-5 | Sedang | KrAl | 
| 10 | Danau Gaung | 2001 | 113 | 3-4 | Sedang | B, KrAl&Fe,BDC | 
| 11 | Batu Tegi | 2001 | 116 | 3 | Pulen | B,BDC, KrAl | 
| 12 | Situ Patenggang | 2002 | 115 | 3,6-5,6 | Sedang | B, Ngn | 
| 13 | Situ Bagendit | 2002 | 115 | 3-5/5-6 | Pulen | B, HDB | 
Tabel: Varietas dan Kualitas Padi Gogo
Sumber: (Alfon dan Hurtuel. 2010)
4.1.2 Sebaran Lahan Tanam Padi Gogo di Indonesia
Di Indonesia, sebaran tanam padi gogo 
berada pada tiap provinsi. Luasan lahan yang ditanami padi gogo saat ini
 adalah 1,12 juta ha dan tersebar pada berbagai provinsi.Pada saat ini, 
pertanaman terluas terdapat pada Pulau Jawa, diikuti kalimantan, Sumatra
 dan lainya. Namun demikian, Produksi total terbesar untuk tanaman padi 
gogo terdapat pada Pulau Jawa dengan lebih dari 1 juta ton pada tahun 
2004. Untuk lebih jelasnya, data tersebut tertuang dalam tabel berikut :
| Pulau | Tahun | ||||
| 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004 | |
| Sumatera | |||||
| Luaspanen (ha) | 392.625 | 331.901 | 299.006 | 319.629 | 301.367 | 
| Produksi total (ton) | 885.858 | 760.604 | 684.128 | 759.193 | 730.936 | 
| Produktivitas (t/ha) | 2,256 | 2,293 | 2,288 | 2,375 | 2,425 | 
| Jawa | |||||
| Luas panen (ha) | 363.902 | 362.023 | 344.850 | 355.459 | 357.333 | 
| Produksi total (ton) | 1.000.952 | 1.029.927 | 992.018 | 1.097.810 | 1.202.061 | 
| Produktivitas (t/ha) | 2,751 | 2,845 | 2,877 | 3,088 | 3,081 | 
| Bali dan Nusa Tenggah | |||||
| Luas Panen (ha) | 113.400 | 91.726 | 93.942 | 100.038 | 115.174 | 
| Produksi Total (ton) | 228.107 | 181.791 | 201.442 | 220.101 | 261.208 | 
| Produktivitas (t/ha) | 2,012 | 1,982 | 2,144 | 2,200 | 2,268 | 
| Kalimantan | |||||
| Luas Panen (ha) | 253.626 | 254.228 | 290.963 | 281.876 | 302.971 | 
| Produksi Total (ton) | 462.950 | 504.731 | 632.945 | 601.057 | 687.066 | 
| Produktivitas (t/ha) | 1,825 | 1,985 | 2,175 | 2,132 | 2,268 | 
| Sulawesi | |||||
| Luas Panen (ha) | 40.087 | 26.719 | 29.119 | 28.736 | 32.368 | 
| Produksi Total (ton) | 86.598 | 62.254 | 65.087 | 69.092 | 78.055 | 
| Produktivitas (t/ha) | 2,210 | 2,168 | 2,235 | 2,161 | 2,411 | 
| Maluku dan Irian Jaya | |||||
| Luas Panen (ha) | 12,205 | 12.025 | 6.308 | 7.785 | 6,707 | 
| Produksi Total (ton) | 25.186 | 25963 | 15.009 | 19.225 | 21.495 | 
| Produktivitas (t/ha) | 2,064 | 2,159 | 2,379 | 2,469 | 2,469 | 
| Indonesia | |||||
| Luas Panen (ha) | 1.175.875 | 1.080.622 | 1.064.187 | 1.093.518 | 1.117.620 | 
| Produksi Total (ton) | 2.691.651 | 2.565.270 | 2.590.629 | 2.759.476 | 2.879.821 | 
| Produktivitas (t/ha) | 2,289 | 2,374 | 2,434 | 2,523 | 2,576 | 
Tabel: Luas Panen, Produksi Total dan Produksi Tiap Hektar Padi Gogo Selama 5 Tahun.
Sumber: Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005
4.1.3 Produktivitas Padi Gogo di Indonesia
Produksi padi gogo nasional baru mencapai
 2,88 juta ton atau baru sekitar 5 % dari produksi padi nasional. 
Tingkat hasil padi gogo perhektar baru mencapai 2,58 ton/hektar atau 
hanya sekitar 45% dari produksi padi irigasi.
4.1.5 Teknik Budidaya Padi Gogo
4.1.5.1 Pemilihan Varietas
            Hal-hal yang perlu 
diperhatikan dalam menentukan varietas padi gogo untuk diusahakan di 
suatu daerah antara lain adalah;
- Kesesuaiannya terhadap lingkungan tumbuh (ketinggian tempat, iklim),
- Umur tanaman yang erat kaitannya dengan curah hujan yang ada dan pola tanam,
- Ketahanan terhadap hama dan penyakit,
- Produktivitas.
            Sedangkan syarat benih yang baik untuk budidaya tanaman padi gogo secara umum adalah sebagai berikut:
- Tidak mengandung gabah hampa, potongan jerami, kerikil, tanah dan hama gudang.
- Warna gabah sesuai aslinya dan cerah.
- Bentuk gabah tidak berubah dan sesuai aslinya.
- Daya perkecambahan >80%.
4.1.5.2 Pengolahan Lahan
Pengolahan tanah untuk pertanaman padi 
gogo dimulai sebelum atau menjelang musim penghujan. Pengolahan tanah 
dilakukan sesuai kondisi lahan. Pada prinsipnya pengolahan tanah 
dilakukan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan 
tanaman, yaitu menciptakan keseimbangan antara padatan, aerasi dan 
kelembaban tanah. Ada lahan yang perlu pengolahan tanah sedikit (minimum tillage) atau bahkan tidak perlu pengolahan tanah (zerro tillage)
 seperti tanah podzolik merah Kuning di Sumatra yang memiliki tingkat 
kemiringan > 10%. Karena jika dilakukan pengolahan tanah justru akan 
merugikan disamping menambah biaya juga menyebabkan tanah lebih peka 
terhadap erosi sehingga kesuburannya menurun. Demikian pula hasil padi 
yang diperoleh antara sistem olah tanah sempurna dengan oleh tanah 
minimum tidak berbeda nyata, sehingga sistem olah tanah minimum lebih 
ekonomis. Cara pengolahan tanah adalah sebagai berikut:
- Lahan dibersihkan dari tanaman penggangu dan rumput sambil memperbaiki pematang dan saluran drainase.
- Tanah dibajak dua kali pada kedalaman 25-30 cm, tanah dibalik.
- Pemupukan organik diberikan pada waktu pembajakan yang kedua sebanyak 20 ton/ha.
- Untuk menghaluskan tanah, tanah digaru lalu diratakan.
- Tanah dibiarkan sampai hujan turun.
Dalam budidaya tanpa olah tanah untuk 
mengendalikan gulma digunakan herbisida. Sebelum aplikasi herbisida 
dilakukan, gulma (terutama alang-alang) direbahkan atau dibakar terlebih
 dahulu, setelah tumbuh sekitar 60 cm (tidak sedang berbunga) baru 
diadakan penyemprotan. Takaran herbisida jenis Roundup antara 5-6 l/ha 
dengan pelarut air antara 200-800 l/ha.
4.1.5.3 Waktu tanam
Penaman yang baik dilakukan setelah 
terdapat 1 – 2 kali hujan, awal musim penghujan (Oktober – Nopember). 
Bahkan ada petani yang telah menebar benih pagi gogo sebelum hujan turun
 atau yang lebih dikenal dengan sistem Sawur tinggal. Sistem tanam sawur tinggal dapat
 dianjurkan pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan sedikit (bulan 
basah antara 3 – 4 bulan) per tahun dan sulit mendapatkan tenaga kerja.
4.1.5.4 Penanaman
Penanaman padi gogo pada dasarnya dapat dilakukan dengan tiga macam cara yaitu :
1. Cara tanam disebar
Cara tanam ini dilakukan dengan menyebar 
rata diatas permukaan tanah atau lahan yang telah dipersiapkan terlebih 
dahulu. Kebutuhan benih pada cara ini biasanya lebih banyak dibandingkan
 cara yang lain, yaitu berkisar 60 – 70 kg/ha. Cara tanam ini mempunyai 
keuntungan tenaga kerja tanam yang dibutuhkan sedikit. Kelemahan dari 
cara ini antara lain :
- Memerlukan benih lebih banyak
- Resiko benih dimakan hama lebih tinggi, karena di permukaan
- Tanaman lebih peka terhadap kekeringan atau kekurangan air.
- Resiko benih hanyut jika terjadi hujan lebat lebih tinggi
- Lebih sulit dalam perawatan, termasuk pengendalian gulma.
Untuk mengurangi resiko atau kelemahan 
tersebut maka perlu dilakukan antisipasi seperti pembuatan saluran 
drainase atau parit-parit sehingga terbentuk bedeng-bedeng untuk 
mencegah genangan air. Guna mengendalikan rumput sebaiknya diaplikasikan
 herbisida pra tumbuh sebelum sebar benih. Penggunaan seed treatment untuk menanggulangi hama.
2. Cara tanam alur
Lahan yang telah dipersiapkan dibuat 
alur-alur sedalam 3 – 4 cm, dengan jarak antar alur 20 – 25 cm. Kemudian
 dalam alur tersebut disebarkan benih padi secara iciran, artinya benih 
padi dijatuhkan secara manual dengan tangan dan diatur sedemikian rupa 
sehingga benih jatuh dalam alur tersebut secara merata. Setelah itu 
benih dalam alur ditutup kembali dengan tanah. Kebutuhan benih cara 
tanam alur ini berkisar antara 40 – 50 kg/ha, jadi lebih sedikit 
dibandingkan dengan sistem sebar.
3. Cara tanam tugal
 Pada cara tanam ini lahan yang sudah 
siap dibuat lubang-lubang tanam dengan menggunakan tugal. Pada umumnya 
untuk pertanaman padi gogo menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm. Setelah 
lubang bekas tugal terbentuk kemudian 2 – 3 butir benih dimasukkan ke 
dalam setiap lubang tanam dan selanjutnya ditutup kembali dengan tanah. 
Sebaiknya sebelum ditanam benih direndam sekitar 6 – 12 jam, kemudian 
dikeringanginkan sekitar 6 – 12 jam. Pada cara tanam dengan tugal ini 
kebutuhan benihnya ± 30 kg/ha, dan perawatan tanaman akan lebih mudah. 
Oleh karena itu cara ini yang paling banyak dipraktekkan oleh petani 
meskipun memerlukan tenaga kerja tanam lebih banyak dibandingkan cara 
sebat atau alur.
Jarak tanam atau jarak antar larik dan 
jumlah benih/lubang/ha sangat tergantung pada tingkat kesuburan tanah 
dan kualitas benih yang ditanam. Semakin subur tanah, jarak tanam dapat 
semakin rapat. Demikian pula, semakin baik kualitas benih, maka semakin 
sedikit jumlah benih yang diperlukan. Jarak tanam, jumlah benih dan cara
 tanam dapat berpengaruh terhadap hasil padi gogo di lahan kering.
E. Pemeliharaan
1. Penyiraman
Penyulaman Padi Gogo dilakukan pada umur 
1-3 minggu setelah tanam. Hal tersebut dikarenakan waktu tersebut 
adalah  waktu terbaik.
2. Penyiangan
Dilakukan secara mekanis dengan cangkul 
kecil, sabit atau dengan tangan waktu tanaman berumur 3-4 minggu dan 8 
minggu. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan pertama dan 
1-2 minggu sebelum muncul malai.
3. Pemupukan
Pupuk yang digunakan dalam budidaya padi 
gogo sebaiknya dikombinasikan antara pupuk organik dan pupuk anorganik. 
Pemberian pupuk organik (pupuk kandang atau kompos), dapat memperbaiki 
sifat fisik dan biologi tanah. Sedangkan pemberian pupuk anorganik yang 
dapat menyediakan hara dalam waktu cepat, pada dosis yang sesuai 
kebutuhan tanaman berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil.
            Pupuk organi diaplikasikan 
pada saat penyiapan lahan. Pupuk ini dipakai untuk meningkatkan 
kandungan C organik tanah dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme 
tanah. Dosis pupuk pada pertanaman padi gogo harus disesuaikan dengan 
tingkat kesuburan tanahnya. Jenis pupuk anorganik yang diberikan berupa 
150-200 kg/ha Urea, 75 kg/ha TSP dan 50 kg/ha KCl. Pupuk TSP dan KCl 
diberikan saat tanam dan urea pada 3-4 minggu dan 8 minggu setelah 
tanam. Pupuk urea , TSP maupun KCl sebaiknya diberikan dalam alur atau 
ditugal kemudian ditutup kembali dengan tanah untuk mencegah kehilangan 
unsurnya.
4.2 Konsep Sistem Pertanian Berkelanjutan Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal 
            Pada lahan marginal, untuk 
menangani masalah kekurangan unsur hara pada tanah dan untuk menjaga 
keberlanjutan suatu sistem pertanian, diperlukan konsep sistem pertanian
 yang mengarah pada sistem pertanian berkelanjutan. Beberapa cara yang 
dapat diaplikasikan dalam hal konsep pertanian berkelanjutan adalah; 
menerapkan sistem pertanian agropastura, menerapkan sistem pertanian 
dengan tumpang sari, merapkan sistem pertanian dengan input pupuk 
organik (pupuk kandang), mengaplikasikan mikoriza.
4.2.1 Konsep Agroforestri (Agropastura)
            Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan,
 di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri
 sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem 
tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau 
kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut 
menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut
- Agrisilvikultur : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.
- Agropastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan.
- Silvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.
- Agrosilvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan.
            Pada lahan marginal, aplikasi
 yang paling mudah untuk diterapkan mengenai sistem pertanian berbasis 
Agroforestri adalah menerapkan sistem pertanian berbasis Agropastura. 
Hal tersebut beralasan dikarenakan kotoran ternak dapat langsung 
digunakan sebagai pupuk organik. Pupuk organik tersebut memiliki 
kelebihan antara lain memiliki kandungan nutrisi yang lengkap bagi 
tanaman dan bersifa slow-release.
4.2.2 Pertanian Tumpang Sari pada Budidaya Padi Gogo Lahan Marginal
            Tanaman pangan sebagai 
tanaman tumpangsari yang umum diusahakan petani adalah; padi gogo, 
kacang-kacangan dan juga sayuran. Tanaman pangan yang diusahakan sebagai
 tanaman tumpangsari, sebaiknya mengacu pada pola tanam berbasis padi 
gogo, yaitu padi gogo-kedelai-kacang tunggak/kacang hijau. Padi gogo 
ditanam pada awal musim hujan, dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang 
hijau atau kacang tunggak yang lebih tahan kering. Budidaya padi gogo 
membutuhkan bulan basah (>200 mm/bulan) secara berurutan minimal 4 
bulan, sedangkan untuk tanaman palawija lainnya minimal 100 mm/bulan. 
Untuk efisiensi tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang
 berlebihan sebaiknya menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan 
tanah yang agak intensif hanya untuk padi gogo dan dilakukan pada akhir 
musim kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk 
pertanaman kedua dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) 
dilakukan dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan 
menjaga kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. 
Dengan demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi 
dapat diminimalkan. Berdasarkan pengalaman (hasil penelitian 
sebelumnya), tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG,
 kedelai sekitar 1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila 
dihitung dengan nilai setara gabah, penerapan pola tanam intensif dengan
 olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak 
kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006).
            Beberapa keuntungan dengan 
adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan yang masih
 muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani 
meningkat; 2) berfungsi dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman 
pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah meningkat (residu
 pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) 
mengurangi pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 
5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi masyarakat sekitar hutan, 
mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005).
            Pengelolaan sumberdaya hutan 
bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan 
sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. 
Dalam pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja 
Perum Perhutani dapat berperan aktif dalam memelihara kelestarian 
sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum Perhutani
 mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung 
mengarahkan dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama 
masyarakat sekitar hutan. Secara simultan akan diupayakan sumberdaya 
hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan 
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).
4.2.3 Pengaplikasian Pupuk Hayati Mikoriza pada Padi Gogo
            Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistis (saling menguntungkan) antara cendawan/jamur (mykes) dan perakaran (rhiza)
 tanaman. Mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 
90% jenis tanaman (pertanian, kehutanan, perkebunan dan tanaman pakan) 
dan membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara 
(terutama fosfor) pada lahan marginal.
            Cendawan ini membentuk spora 
di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan 
tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk 
menumbuhkan cendawaan ini dalam media buatan, akan tetapi belum 
berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini 
yang menyebabkan CMA belum dapat dipoduksi secara komersil dengan 
menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan 
tanaman sangat mengembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari 
sekitar 100 mm sampai 600 mm oleh karena ukurannya yang cukup besar 
inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah 
dengan menyaringnya.
Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ tersebut serta penjelasan lain.
Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ tersebut serta penjelasan lain.
            Prinsip kerja dari mikoriza 
ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi 
jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza 
tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara.
            Pada tanaman padi gogo, 
aplikasi mikoriza dapat meningkatkan kuantitas dari Indeks Luas Daun, 
panjang akar, bobok kering, dan bobot basah. Hal tersebut sesuai dengan 
tabel berikut:
| Perlakuan | ILD | 50% berbunga (HST) | Bobot Basah (g) | Bobot Kering (g) | Panjang Akar (cm) | ||
| Tajuk | Akar | Tajuk | Akar | ||||
| Mikoriza | |||||||
| Tanpa Mikoriza | 2.732b | 78.067 | 152.620 | 22.873 | 31.438 | 6.129 | 23.896 | 
| Mikoriza | 3.541a | 76.467 | 170.520 | 25.767 | 35.128 | 7.284 | 24.927 | 
Tabel:Pengaruh Pemberian Mikoriza pada Pertumbuhan Tanaman Padi Gogo
Sumber: Sukiman dkk., 2010
            Dari data tabel tersebut 
dapat diketahui bahwa penambahan mikoriza pada padi gogo akan 
meningkatkan kuantitas pertumbuhan tanaman. Sejalan dengan itu, maka 
pemberian mikoriza dapat meningkatkan produktifitas tanaman padi gogo, 
khususnya pada lahan kering dimana kandungan unsur haranya sedikit.
            Namun demikian, harga dari pupuk mikoriza ini terbilang mahal. Harga pupuk mikoriza adalah sebagai berikut:
| No | Nama Produk | Kemasan/Paket | Harga | 
| 1 | Mosa Liquid | 500 cc | 26.100 | 
| 2 | Mosa Humus | 1 kg | 31.900 | 
| 3 | Mosa Mic | 250 cc | 21.750 | 
| 4 | Pupuk Kascing Pualam | 20 kg | 33.350 | 
| 5 | Tricovirin | 500 gram | 58.000 | 
| 6 | Metaret | 500 gram | 58.000 | 
| 7 | Mikoriza | 1000 gram | 58.000 | 
Tabel: Harga Pupuk Mikoriza
4.2.4 Aplikasi Pupuk Kandang/Kompos pada Padi Gogo
            Pupuk kandang mengandung 3 
golongan komponen, yaitu litter (kotoran/sampah), ekscreta padat (bahan 
keluaran padat) dari binatang, dan ekscreta cair (urin). Sifat/keadaan 
dan konsentrasi relatif dari komponen-komponen ini dalam macam-macam 
pupuk kandang adalah sangat berbeda, tergantung dari jenis binatangnya, 
cara pemberian makanannya dan pemeliharaan binatang-binatang tersebut.
            Sisa-sisa tanaman yang 
merupakan kotoran pada pupuk kandang biasanya tinggi kandungan 
karbohidrat, terutama selulosa, dan rendah kandungan nitrogen maupun 
mineral. Nitrogen dan mineral terkandung tinggi pada urin, dan kandungan
 karbohidratnya sangat kecil. Sedangkan ekscreta padat memiliki 
kandungan protein yang tinggi, sehingga memberika suatu media yang lebih
 seimbang bagi perkembangan mikro organisma. Komposisi kimiawi pupuk 
kandang dari berbagai jenis binatangnya adalah sebagai berikut:
| Pupuk Kandang | Kelembaban (%) | Nitrogen (%) | P2O5(%) | K2O(%) | 
| Lembu, sapi | 80 | 1,67 | 1,11 | 0,56 | 
| Kuda | 75 | 2,29 | 1,25 | 1,38 | 
| Domba | 68 | 3,75 | 1,87 | 1,25 | 
| Babi | 82 | 3,75 | 3,13 | 2,50 | 
| Ayam | 56 | 6,27 | 5,92 | 3,27 | 
| Merpati | 52 | 5,68 | 5,74 | 3,23 | 
Tabel: Kandungan nutrisi pupuk kandang
            Aplikasi pupuk kandang 
biasannya dicapur dengan sampah berupa daun dan menjadi kompos. Pada 
tanaman padi gogo, penggunaan pupuk kompos juga menunjukkan tren positif
 berupa peningkatan perumbuhan vegetatif.
            Dari data yang ditunjukkan 
diketahui bahwa pengaplikasian pupuk kompos memiliki pengaruh positif 
pada pertumbuhan tanaman padi gogo. Kualitas pupuk kompos juga lebih 
baik ketimbang pupuk kimia.  
V. PENUTUP
5.1    Kesimpulan
- Luas lahan marginal di Indonesia cukup besar dan sanga berpotensi dikembangkan tanaman padi gogo.
- Tanaman padi gogo adalah varietas padi yang dapat ditanam pada lahan marginal karena sifatnya yang sedikit membutuhkan air.
- Untuk menjaga keberlanjutan pertanian padi gogo di lahan marginal, maka perlu dilakukan sistem pertanian yang menggunkan input non kimia seperti pemanfaatan pupuk kandang dan pupuk mikoriza. Selain itu, penggabungan dengan sistem perternakan (agropastura) dan sistem tumpang sari merupakan metode yang dianjurkan.
5.2    Saran
- Diperlukan penelitian lebih lanjut baik berupa kajian pustaka dan penelitian mengenai sistem pertanian berkelanjutan di lahan marginal khususnya pada padi gogo.
- Perlu adanya penyempurnaan dari makalah ini agar diperoleh data yang lebih sistematis dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, Janes dan Hutuely, Luthfie. 2010. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Gogo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku.
Balai Penelitian Tanaman Padi. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Departemen Pertanian.
Ciptadi, Didik. 2009. Pengaruh Aplikasi Berbagai Sumber Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB
Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH Indramayu. 17 hal.
Sukiman dkk. 2010. Respon Tanaman Padi Gogo Terhadap Stress Air dan Inokulasi Mikoriza. Berita Biologi. 10 (2) : 249 – 255.
Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi.
Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.
Toha, H M., K Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006.
 Peningkatan produktivitas padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati 
muda melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.

 
 
 
 

wow artikel yang menarik
BalasHapustrimakasih tlah membantu ujian saya
dapet nilai bagus UYY
Lumayan B HAHAHAH